wudhu sebelum tidur tapi bersentuhan dengan istri

Makanya : H. Muhammad Said, STh.I, MA (Penghulu lega KUA Kecamatan Lubuklinggau Utara II)
Para ulama’ berbeda pendapat adapun persentuhan selerang antara lanang dan putri. Di bawah ini merupakan pendapat ulama’ dalam 4 (catur) mazhab.
Pertama,
Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa bersentuhan selerang antara laki-laki dan kuntum tidak mansukh secara mutlaq, baik antar mahram maupun tidak mahram, baik dengan seksualitas maupun enggak dengan syahwat.
Dalil mereka, dalil (1): Lega dasarnya wudhu’nya lain sia-sia kecuali bila ada dalil nan shahih dan jelas nan menamakan pembatal wudhu’. Dalil (2): cak semau bilang hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bukan kembali berwudhu’ setelah menjejak ‘Aisyah.
Aisyah RA berkata:
“Lalu aku tidur di depan Rasulullah SAW dan kedua kakiku ada di sisi qiblatnya, dan bila sujud anda menyentuhku”.
(HR Bukhari dan Mukminat). Aisyah RA lagi berkata:
“Suatu lilin lebah aku kehilangan Rasulullah SAW dari tempat tidur maka kau mencarinya terlampau tanganku memegang kedua telapak kakinya”.
‘Aisyah juga menarikhkan bahwa Rasulullah SAW susunan menyenggol istrinya, kemudian shalat sonder berwudhu’ kembali (HR Debu Dawud ).
Dalil (3): makna
laa-mastumunnisa’
menurut mereka adalah jima’, sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas r.a.
Kedua,
Mazhab Maliki
berpendapat bahwa bersentuhan jangat antara adam dan perempuan dapat membatalkan wudhu’ jika disertai dengan syahwat, baik sengaja maupun enggak sengaja. Terdaftar membatalkan wudhu’ juga bersentuhan indra peraba dengan yang belum baligh tetapi sudah dapat menimbulkan sensualitas. Termasuk juga persentuhan kulit nan dilapisi dengan kain yg tipis maupun tebal, tambahan pula persentuhan sesama pria maupun sesama kuntum pun boleh membatalkan wudhu’, jika disertai dengan berahi.
Dalil mereka adalah ayat 43 surah al-Nisa’ dan ayat 6 surah al-Maidah nan mengistilahkan bahwa bersentuhan kulit termasuk hadats kecil yang mewajibkan wudhu’. Saja karena terdapat hadits-hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersentuhan dengan ‘Aisyah ketika shalat, maka mereka mengkompromikan dalil-dalil tersebut sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa sekedar bersentuhan nan tidak menimbulkan syahwat tidaklah membatalkan wudhu’
Ketiga,
Mazhab Syafi’i
menyatakan bahwa seorang laki-laki yang hingga ke kulit isterinya ataupun wanita lainnya yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu’, walau pula menyentuhnya sonder diiring dengan syahwat dengan syarat tidak terletak penghalang antar kulit tersebut. Dikecualikan mulai sejak ini adalah menyentuh surai, ceker, gigi, atau menyentuh anak kecil yang belum menimbulkan syahwat.
Mereka mengingkari alas kata
laa-mastumunnisa’
dalam surat al-Nisa’ ayat 43 dan Al-Maidah ayat 6 adalah bertemunya kulit dengan kulit walau pun tidak terjadi jima’. Alasannya adalah (1) Bahwa Almalik SWT menyebutkan pengenalan “janabah” di mulanya ayat ini kemudian mengikutinya dengan menyentuh wanita, maka ini menunjukan bahwa mencecah wanita umpama hadats kecil seperti lempar air ki akbar, dan itu semua tak “janabah”, maka maksud
laa-mastumunnisa’
di sini adalah hingga ke kulit walau pula tak terjadi jima’.
Alasan (2) berpangkal arah bahasa Arab kata
laa-musim
maknanya
lamisa
sebagaimana dalam qira’ah lainnya, dan semuanya berarti bertemunya alat peraba dengan kulit. Alasan (3) Abdullah bin Umar RA berfirman: “Seorang laki-laki mencium isterinya dan menyentuhnya dengan tangannya tertera
mulaa-masah
(mengaras), dan barang siapa yang mencium ietrinya ataupun menyentuh dengan tangannya maka wajib baginya berwudhu;”.
Keempat,
Mazhab Hanbali
dalam riwayat yang perbuatan baik sependapat dengan mazhab maliki n domestik keadaan persentuhan yang disertai dengan seksualitas lah nan membatalkan wudhu’. Belaka mereka membebaskan persentuhan selerang yang tak langsung (ada alas nan membatasinya), persentuhan dengan kuku, rambut, dan gigi, dan persentuhan sesama adam atau sesama perempuan.
Bagaimana Sikap Kita?
Pertama, jangan saling menyalahkan satu sederajat lain, karena semua pendapat tersebut memiliki dalil nan menurut pengikutnya merupakan yang paling kuat.
Kedua, pendapat yang lebih hati-hati adalah pendapat mazhab Syafi’i, karena jika kita berwudhu’ kembali selepas terjadinya persentuhan kulit seperti dimaksud, maka wudhu’ kita biasa dalam pandangan semua mazhab.
Ketiga, dalam rukyat kami (katib) bahwa pendapat n domestik mazhab Syafi’I lebih kuat dengan beberpa alasan berikut :
- Lebih sekata dengan zhahir al-Qur’an (surah al-Nisa’ ayat 43 dan al-Maidah ayat 6);
- Tak terdapat nash yang tegas bakal mengalihkan makna menyentuh kepada makna jima’;
- Hadits tentang Rasulullah SAW yang pernah kejedot istrinya ialah hadits dha’if dan mursal yang tidak boleh dijadikan dalil.
- Hadits tentang Rasulullah SAW nan pernah sampai ke kaki ‘Aisyah ketika shalat, dan ‘Aisyah sangkut-paut menyentuh tungkai beliau SAW ketika shalat, walaupun sanadnya shahih, tetapi maknanya n kepunyaan peluang lain (muhtamal), merupakan boleh makara, momen persentuhan itu terdapat hutan yang membatasinya maupun situasi tersebut merupakan kekhususan Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam bishshawab.
Editor:
Amrullah, S.Ag., M.M
Source: https://sumsel.kemenag.go.id/opini/view/2342/bersentuhan-kulit-antara-lakilaki-dan-perempuan-apakah-membatalkan-wudhu%E2%80%99