mentahan baju polos abu abu
Setiap sosok yang hayat pasti akan tatap muka dengan kematian. Kita tidak tahu kapan mortalitas itu akan cak bertengger, tapi kita bisa mempersiapkan diri lakukan peristiwa tersebut. Jadi jikalau nanti mortalitas itu menjemput, kita sudah siap dan tidak teristiadat redup.
Dengan lumat angin membelai wajahku nan memadai berkeringat siang itu dan melasikan rasa panas nan membuntuti selama 1 jam ke birit. Kehadirannya sungguh tepat, mirip seperti hadirnya oase nan unjuk lakukan para petualang di padang gurun. Bersama antitesis-jodoh
Jakarta Walking Tour, saya baru saja berjalan menyusuri kampung pengasinan iwak di Utara Jakarta, Cilincing tepatnya.
Kini kami sudah beranjak ke tempat bukan. Suku ini sudah menapakkan dasarnya di sebuah aula mendelongop, aula milik Perabuan Cilincing, pancaka tertua yang ada di Jakarta. Lokasinya tidak begitu jauh berpunca kampung pengasinan ikan tadi, terbatas makin belaka 10 menit berjalan tungkai dari sana. Semata-mata karena cerah seperti itu panas, pelawatan kampung pengasinan ikan – Krematorium Cilincing terasa begitu melelahkan. Di balairung itulah kami beristirahat sejemang untuk memuati kembali tenaga kami.
Para Peserta Walking Tour bersama Jakarta Good Guide yang dipimpin maka itu Mas Huans
Gelanggang Kremasi Tradisional yang dijaga seekor monyet. DI kancah ini jenazah dibakar bersama dengan gigolo bakar
Tempat Kremasi teladan oven
Usai semua peserta berkumpul di aula tersebut, Mas Huans yang berlaku sebagaiguidekami dari
Jakarta Good Guidesaat itu refleks menjelaskan kurang tentang krematorium ini. Saya tak begitu mendengar apa penjelasannya. Perasaan saya simultan melekat pada tempat pengabenan nan ada di kiri, kanan dan bokong aula ini. Entah mengapa kematian terasa begitu dekat ketika melihat wadah-tempat pembakaran mayat tersebut. Meskipun terasa sedemikian itu damping, namun saat itu kematian tidaklah begitu menakutkan. Berbeda sekali dengan di rumah, terkadang ketika saya medium berdiam di kamar, bayangan akan kematian itu hinggap menghantui dan membuat saya takut.
Rampung menjatah abnormal penjelasan, kami dibebaskan untuk gelintar kewedanan krematorium. Ada bilang gedung di bagian belakang tempat kremasi ini yang boleh kami kunjungi. Saya yang sedari tadi sudah tidak pemfokusan dengan congor mas Huans dan lebih sibuk mengamati lingkungan sekitar pun sudah sempat harus mengunjungi bangunan yang mana. Sebuah arca Buddha sinkron menarik perhatian saya.
Sebuah Renungan di Rumah Abu Cung Pita Tze
Rumah Penitipan Abu Cung Lin Tze yang didepannya terdapat Patung Buddha berformat besar
Si Buddha
Patung Buddha nan besarnya rendah lebih 10x badan saya dengan jubah berwarna asfar sambil memegang Pagoda diletakkan persis di depan sebuah gedung nan bertuliskan “Bangunan Penitipan Abu Jenazah Cung Lin Tze“. Inilah alasan saya tercantol mengunjungi bangunan ini. Dandan kuning nan sedemikian itu tunu diantara rona-rona di sekitarnya takhlik perhatian saya kodrati tertuju ke arahnya.
Ketika hendak ikut ke dalam rumah tepung, kepala ini start-tiba saja mengangguk ke arah Patung Buddha tersebut seolah meminang abolisi bagi turut. Saya tidak tahu mengapa saya mengerjakan peristiwa tersebut. Situasi itu serempak semata-mata saya bagi. Lucunya pun, saya merasa membujur respon balikan berpangkal Patung Buddha yang diam itu. Wajahnya nan mesem seolah menjadiapprovalkerjakan saya memasuki konstruksi untuk para manusia yang sudah tidak memiliki raga juga.
-
Baca pun: 8 Uang sogok Traveling ala Saat Travel
Memasuki kolumbarium, saya bukan langsung berkeliling. Kurang lebih sejauh 5 menit saya terdiam di depan ki memandangi bekas-tempat penyimpanan debu jenazah yang begitu banyak. Abu-abu jenazah tersimpan rapi privat medan dan diletakkan dalam bufet kecil. Sebuah meja berukirkan naga terbantah berada di depan saya. Saat memandang tempat penyimpanan abu itulah saya merasa diri saya begitu kecil dan menyadari kalau hidup ini saja sementara. Sederum terdiam, saya mengingat kembali apa belaka yang sudah kulakukan selama hidup ini. “Apakah hidup saya sudah berguna buat orang lain?” gumam saya lubuk hati.
Menatap Mortalitas
Kontemplasi saya terhenti kala suara bermula sendiri bibit buwit tua meretakkan tembok renungan itu. Suaranya tidak terlalu berkanjang tapi cukup untuk juga menyadarkan saya. Dengan senyumnya yang hangat engkau mempersilakan saya untuk berkeliling. Bibit buwit tua nan saya lupa namanya itu mengamanatkan buat tidak menyentuh apapun tanpa izin darinya.
Lain mau berkeliling tanpa cak semau nan bercerita akan halnya arena ini, saya pun meminta kakek tersebut buat menggauli saya. Setelah perkenalan singkat, barulah saya sempat jika cikal bakal tersebut adalah penjaga kolumbarium ini. Bertepatan berjalan pelan, kakek berangkat bercita mengenai panggung ini.
Arena Sang Abu
Umumnya, mereka yang menyimpan abuk di Cung Pita Tze ini beragama Masehi dan Buddha. Poyang menjelaskan seandainya Flat Duli Cung Pita Tze ini sudah penuh. Tidak terserah kembali abu yang bisa ikut kecuali serbuk tersebut adalah episode dari salah suatu keluarga yang terlebih dahulu punya tempat di sini. Namun masalah itu sudah teratasi karena di bagian depan, akrab dengan krematorium, telah dibangun kolumbarium yang hijau.
Serampak menunjuk ke arah lemari penyimpanan abu, bibit buwit menjelaskan khasiat huruf dan angka romawi nan terletak di episode paling atas. Huruf menunjukkan baris sementara itu angka romawi menunjukkan ruangan. Terletak kurang lebih 5 saf dan 30an kolom di Rumah Serdak Cung Lin Tze ini. Penggunaan abjad dan kolom ini semata buat menggampangkan penyimpanan dan pengutipan bubuk cak bagi keluarga nan mau berziarah.
Kolumbarium yang plonco untuk menguasai Cung Lin Tze yang sudah penuh
Huruf yang menjadi penanda baris
“Berapa harga penyimpanan abu di wadah ini, kek?” soal saya penasaran. Dengan tegar melihat ke arah tempat penyimpanan abu, poyang itu bilang jikalau harga ditentukan dari posisi penyimpanan abu. Baris A adalah baris paling kecil atas, sedangkan baris E adalah baris paling bawah. Semakin tinggi tempat penyimpanan serbuk, akan semakin murah harganya. Kenapa? Karena abu akan semakin jauh dari fisik pengunjung yang datang. “Jikalau di lajur D dan E kan rapat persaudaraan tuh, duli boleh dilihat dengan jelas. Sang pengunjung tidak perlu mencugat ke atas untuk melihat abunya.” tandas kakek.
Tanpa terasa kami sudah mulai di meja berukiran naga. “Padalah, orang sering pelecok di sini. Kebanyakan mereka nan cak bertengger akan menyebut meja ini bak meja naga, padahal bukan. Meja ini adalah
Meja Marga Para Leluhur. Meja ini menjadi satu elemen penting bagi peziarah nan cak bertengger karena di tempat inilah mereka akan sembahyang lega kakek moyang mereka” ungkap kakek.
Tidak jauh dari Kenap Marga Para Leluhur, terpandang kembali sejumlah ornamen semenjak kertas nan dibentuk menjadi oto-mobilan, uang, buah-buahan, rumah dan beberapa bentuk lainnya. Menurut penjelasan cikal bakal, ornamen kertas ini akan dibakar bersama jenazah yang akan dikremasi. Benda-benda tersebut dipercaya boleh mendukung arwah dari si buntang di standard lain kelak.
Meja Marga Para Nenek moyang
Mobil-mobilan dan emas dari kertas yang akan dibakar bersama mayat
Pemilik Rumah Debu
Sebelum menyudahi pengenalan akan Apartemen Abu Cung Pita Tze ini, poyang mendongeng sedikit akan halnya pemilik dari Rumah Duli ini. Abu dari sang ayah pemilik rumah debu ini disimpan pada baris A kolom XXV. Letaknya persis di depan pintu masuk, depan Meja Marga Para Leluhur, dan fertil di posisi paling tinggi. Format ruang penyimpanan abunya pun paling besar di antara yang lainnya.
Di dalam urat kayu penyimpanan abunya terwalak sebuah foto dengan 2 lampu yang saban berlambak di kidal dan kanan foto. Menurut cikal bakal, sejak bangunan ini dibangun (penghabisan 70an) dan abu diletakkan di tempat itu, lampunya sewaktu-waktu belum pernah mati dan belum perhubungan diganti. Fenomena itu menjadi misteri solo untuk sang poyang. Menurutnya, keadaan itu merupakan simbol kehadiran bersumber arwah sang tuan yang terus menjaga wadah ini.
Abu berbunga ibu bapak tuan rumah abu tepat bakir di bawah nilai romawi XXV
Tata Prinsip Melawat
Lakukan kita yang menclok bukan untuk menyadran, penyelenggaraan cara untuk masuk gedung ini tidaklah begitu langka. Kita hanya terbiasa masuk dan menjaga tingkah kayun serta tutur kata kita. Tapi bagi yang ingin berziarah, ada beberapa ritual tambahan nan perlu dilakukan:
- Saat masuk, petandang harus sembahyang.
- Usai sembahyang, pengunjung lamar ampunan ke kidal dan ke kanan Betara Penjaga Pintu (Dewa Penjaga Portal hanya bisa dilihat maka dari itu hamba allah nan mempunyai alat penglihatan batin).
- Lebih jauh, pelawat pula sembahyang dan meminta izin ke Meja Marga Para Karuhun.
- Tidak lupa, peziarah juga harus Berdoa kepada Betara Mayapada (Letaknya terserah di baris paling bawah dengan wadah abu yang besar).
- Setelah menerobos tahap 1-4, tanggungan baru bisa menemui almarhumah/ah yang abu jenazahnya disimpan n domestik wadah.
Betara Marcapada
*****
Dengan berakhirnya penjelasan mengenai penyelenggaraan cara berziarah, berakhir pula anjangsana saya untuk mengenal Cung Lin Tze, tempat peristirahatan terakhir di paksina Jakarta ini. Abu nan disimpan di sini umumnya yaitu abu yang akan dilarung atau abu yang memang sengaja disimpan hendaknya keluarga bisa boleh terus berziarah.
Dari ajang ini saya bisa belajar seandainya kita tak ada barang apa-apanya di dunia ini. Selepas ranah, kita yang besar ini namun akan berubah menjadi butiran abu kerdil yang akan hilang tertimpa hempasan dan terlupakan. Tidak akan ada berasal kita nan diingat selain kesan, kesan akan kelebihan atau kejahatan nan sudah lalu kita lakukan.
Lokasi
Jl. Kali Baru Timur IV No.4, RT.7/RW.4, Kali Baru, Cilincing, Ii kabupaten Jakarta Utara, Wilayah Khusus Ibukota Jakarta 14110 (Dekat dengan Kantung Samudra)
Masa adalah kehidupan kita dan setiap makhluk memiliki waktu nan proporsional. Detik kita kekeringan waktu kita, maka sebenarnya kita telah kehilangan vitalitas kita.
— Bhiksu Garbha Virya
Source: https://dailyvoyagers.com/blog/2018/05/12/cung-lin-tze/