mengapa sambatan perlu dilestarikan
BUDAYA ‘SAMBATAN’ PERLAHAN Terbangkalai
Mana tahu yang tidak kenal istilah ‘sambatan’ mungkin sebagian segara sedulur Anrakk sudah tak asing lg dg istilah sambatan.
Sambatan merupakan suatu sistem gotong royong yg kebanyakan di praktekkan di kampung-kampung. dengan cara menggagas tenaga kerja secara masal yang mulai sejak dari warga kampung itu sendiri bagi membantu keluarga yang menengah ketularan murka alam alias madya melakukan sesuatu, seperti membangun rumah, mengebumikan maupun memanen pari menyelenggarakan makan besar pernikahan khitanan dll. Tujuan garis besr di adakanya sambatan ialah meringankan karier seseorang secara pundak membahau atas asas kekeluargaan dan solidaritas..Contoh lainya bagaikan, ada salah seorang warga yang mau membangun rumah, menurunkan genteng,melepas lembaga flat, dan memasangnya pun tergarap secara senang rela.
Saat istirahat batang hari mereka makan siang beramai-riuh-rendah menyantap saji sederhana yang sudah disiapakan. Disinilah rasa kebersamaan kelihatan adv amat kental sekali, Menu yang comar dijumpai yakni nasi ‘brokohan’ istilahnya. dengan lauk tempe tahu atau sejenis opor. Setelah berhenti sejenak pekerjaan lagi ditunaikan dengan gembira dan tertawa. Weh, pokoknya semua terlihat guyub rukun, ayem tentrem kerto raharjo. Begitulah gambaran kehidupan di desa yg berbaik yang asri jauh dari hingar bingar perkotaan.
Undangan sambatan pula menerobos sistem dari bacot ke mulut. Tidak perlu rapat atau panitia. Tuan rumah tinggal harap tolong seseorang, dan orang inilah umpama konsul yang menyampaikan informasi sambatan ke tetanga lainnya.
Dalam jalan sekarang ini,terdapat pergeseran sistem gotong royong dengan sambatan menjadi sistem upah. Privat satah perladangan nampak jelas terjadi pergeseran itu. Sekarang ini penduduk umum yang berkujut dalam tandur dan derep diberi upah oleh pemilik atau petani penggarap sawah.Pergeseran sistem sambatan dalam pertanian tak sungkap semenjak tuntutan hidup di zaman moderen ini, di mana lapangan kerja semakin sempit dan kebutuhan roh makin hierarki.
Warga mahajana nan dulunya murni bergotong royong menggarap sawah sekarang menjadikan sawah laksana tanah lapang pekerjaan. Warga nan terlibat dalam menggarap sawah itu disebut dengan buruh tani.Akibatnya lambat laun, leluri sambatan pun memudar.
Tambahan pula di zaman yg katanya serba modern ini, susah sekali menemukan budaya sambatan di sekitar kita apa lagi semangat di perantauan sulit sekali di temukan budaya sambatan. Menurut anggapan notulis Memudarnya tali peranti sambatan ini bisa jadi karena: pertama, adanya sebagian penduduk yang bukan memiliki ketersediaan waktu bakal sambatan karena kesibukan kerja.
Kedua, sebagian penghuni merasa tidak memerlukan sambatan karena lebih mempercayakan kepada basyar yang profesional atau ahlinya.
Ketiga, kurangnya rasa kekeluargaan dan kekompakan antar sesama.
Tetapi begitu, di jaman nan serba “lu-lu, gue-gue” sari sambatan perlu terus dipupuk dan dilestarikan. Siapa yg kudu melestarikan tradisi jawa yg intim tergilas peradaban zaman ini???
Percayalah, sambatan dilakukan oleh warga kampung dengan sukarela tanpa mengharapkan upah atas pekerjaaannya itu karena didasari oleh asas principle ofreciprocity, yaitu mungkin nan membantu tetangganya nan membutuhkan maka suatu detik pasti ia akan dibantu ketika medium membutuhkan. Bukankah istilah jawa ”sapa nandur kabecikan, terlazim bagi ngunduh…?’
-6.153698
106.836064
Source: https://anrakk.wordpress.com/2013/05/12/budaya-sambatan-perlahan-terlupakan/