makna lukisan cap tangan di dinding gua
Pengantar
Sulawesi Selatan adalah salah suatu provinsi yang terpusat internal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Distrik nan luasnya 62.482,54 km2 ini pada tahun 2003 berpenduduk 8.233.375 jiwa. Secara astronomi terletak pada koordinat 0012’–80 Lintang Kidul (LS) dan 116048’–122036’ Bujur Timur (BT). Sedangkan, secara manajerial kawasan ini membawahi 20 kabupaten, 3 kota, 285 kecamatan dan 664 kelurahan (www.wikipedia.org).
Propinsi nan beribukota di Makassar1)
ini publik asalnya terdiri atas berbagai rupa sukubangsa, yaitu Abung Anak uang Arai, Bentong, Bugis, Pusat, Duri, Luwu, Makassar, Mandar, Massenrengkulu, Selayar, Toala, Toraja, dan Towala-Wala (Melalatoa, 1995:xix–xx). Dari berbagai macam macam sukubangsa itu yang barangkali tidak asing lagi untuk kuping kita adalah Bugis, Makassar, dan Toraja. Bugis-Makassar karena sangat erat kaitannya dengan raja-syah Melayu dan perahunya yang lintas benua (phinisi). Sedangkan, Toraja karena budaya tradisionalnya (taman bahagia-makam para leluhurnya yang di puncak ancala).
Daerah Sulawesi Selatan memiliki rekaman yang panjang, baik yang bersifat domestik maupun kewarganegaraan, dengan heterogen peninggalannya. Peristiwa pembunuhan massal (40.000.000 jiwa) oleh Westerling (seterusnya disebut sebagai “Peristiwa Westerling”) misalnya, peristiwa itu enggak akan terlupakan, khususnya maka dari itu orang Sulawesi Kidul dan umumnya masyarakat Indonesia. Sulawesi Selatan tampaknya lain hanya menyimpan berbagai warisan rekaman, tetapi berbagai peninggalan prasejarah. Peninggalan-peninggalan itu (berwujud artefak) ada di heterogen korok yang terserah di sana, salah satu diantaranya merupakan lukisan-lukisan nan terwalak pada dinding-dinding gua.
Senyatanya lukisan-lukisan yang suka-suka di dinding terowongan-gua di Sulawesi Selatan tidak hanya kasatmata keunggulan tangan, tetapi babi alas, ikan, perahu, dan manusia. Namun, karena lukisan cap tangan ialah yang dominan, dan ditemukan tak hanya di Sulawesi Selatan, di heterogen wilayah Indonesia Timur lainnya dan Pasifik, maka artikel ini diberi judul laksana yang tercatat di atas.
Gua-gua dan Lukisan yang Terdapat di Dalamnya
Maros dan Pangkep adalah 2 kabupaten mulai sejak 20 kabupaten nan tergabung di distrik Provinsi Sulawesi Daksina. Di selama jalan nan menghubungkan kedua kabupaten itu banyak ditemukan gua-gua beserta peninggalan-peninggalan nan berupa artefak prasejarah
2)
. Gorong-gorong-gua itu, diantaranya adalah: Leang Pattae, Cacondo, Uleleba, Balisao dan Pattakare. Para arkeolog yang melakukan penelitian di gua-liang tersebut, khususnya yang suka-suka di Kabupaten Maros dan Pangkep, menemukan berbagai warisan zaman prasejarah nan tidak hanya berupa peralatan dari bisikan dan tulang-lemak tulang, tetapi pula lukisan-lukisan kuno. Analisis Kokasih (1983) menamakan bahwa lukisan itu dibuat ketika arwah basyar sudah lalu menetap karena detik manusia prasejarah masih nomaden (berpindah-pindah tempat) keselamatan relatif tidak terjamin, sehingga lukisan tidak ditemukan.
Kehidupan menetap itu sendiri, khususnya di Sulawesi Selatan, hijau dimulai detik mereka (manusia prasejarah) menemukan gua-korok yang dianggap cocok sebagai kancah berlindung untuk menyingkir serangan binatang-fauna buas dan iklim yang kurang menguntungkan. Diperkirakan mereka mulai meninggali korok-gorong-gorong yang ada di Sulawesi Selatan sekitar 5500 SM. Saat itu sistem ain pencaharian yang mereka kerjakan merupakan berburu dan meramu. Bukan semua gua dijadikan sebagai tempat tinggal. Hanya korok yang luas, kering, memiliki semarak yang pas, dan rapat persaudaraan dengan sumber kebutuhan sehari-hari yang mereka diskriminatif bak kancah lampau.
Sebagaimana mutakadim disebut pada fragmen atas bahwa lukisan yang terdapat pada dinding gaung-gua di Sulawesi Selatan tidak hanya cap tangan. Doang, demikian yang sangat menarik pikiran para peneliti prasejarah adalah segel tangan. Van Heekeren (1952),. Soejono (1977) dan Kosasih (1983) mengatakan bahwa tujuan pembuatan lukisan itu terserah kaitannya dengan kepercayaan mereka (berperangai religius). Artinya, karya seni tersebut dibuat bukan terkait sekaligus dengan tujuan artistik (menambah keindahan suatu obyek yang dilukis), tetapi suatu usaha untuk dapat berkomunikasi dengan kekuatan supernatural. Oleh karena itu, para peneliti memperkirakan bahwa ide melukis dinding gua pada awalnya merupakan suatu permohonan kepada keefektifan tertentu agar apa yang dikehendaki dapat tercapai, sesuai dengan segala yang dilukis. Mengenai lukisan logo tangan itu seorang, Van Heekeren (1952) mengatakan bahwa lukisan itu ada hubungannya dengan upacara mortalitas dan hidup di pataka bukan (spirit sehabis mati). Kian jauh, Van Heekeren (1952), dengan menunggangi studi etnoarchaelogy, mengaitkan antara keunggulan tangan dan religi. Ia menyatakan bahwa cap tangan menggambarkan suatu perjalanan jiwa yang telah meninggal nan sedang meraba-raba menuju ke tunggul nyawa. Selain itu, cap tangan juga yaitu suatu tanda bela sungkawa berasal orang-hamba allah yang dempang dengan yang sepi.
Umumnya lukisan yang ada di dinding gua-gua nan terdapat di Sulawesi Kidul berada pada tempat yang sulit dijangkau oleh tangan manusia (mendatangi atap gaung), sebagaimana yang terwalak di gorong-gorong Leang-leang (Kabupaten Maros) dan gaung Garunggung (Kabupaten Pangkep).
Rancangan dan coraknya beragam; ada yang substansial tangan junjungan-laki; tangan perempuan dan tangan anak-anak dengan bentuk farik-beda: terserah nan ogok belaka bekas kaki tangan; telapak tangan hingga belokan, bahkan ada juga nan memperlihatkan cap tangan nan salah satu jarinya dipotong. Adapun cara membuatnya ialah dengan menempelkan obyek (telapak tangan) ke dinding, kemudian menyemprotnya dengan enceran merah yang dibuat dari oker (hametite).
Biji Budaya
Lukisan yang terdapat pada dinding gua-liang yang terserah di Sulawesi Selatan bukan sekedar lukisan, karena lukisan itu diselimuti oleh suasana sakral dan religius. Melangkahi lukisan seseorang dapat berkomunikasi dengan kebaikan yang bertambah tahapan (supranatural). Sehingga apa yang diharapkan boleh dikabulkan. Lukisan cap tangan pun bukan cuma sekedar lukisan, tetapi merupakan simbol belangsungkawa dan perjalanan n domestik “bumi tak”. Ini artinya bahwa lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding gua-gaung di Sulawesi Daksina punya nilai religius. (gufron)
Sendang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Harta benda Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A–K. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
www.wikipedia.org
1)
Cap ibukota ini senggang diganti dengan “Ujungpandang”. Namun, sekarang kembali pula ke mulanya, yaitu Makassar.
2)
Prasejarah adalah suatu zaman yang masyarakatnya belum mengenal coretan. Lamanya zaman ini antara masyarakat di bongkahan dunia yang suatu dan lainnya bukan sama persis (farik-cedera). Misalnya, Mesir telah mengakhiri zaman prasejarahnya cacat kian 4.000 waktu Sebelum Serani, kemudian masyarakat Pulau Jawa mengakhiri zaman prasejarahnya pada abamashd ke-3 Masehi (bersamaan dengan datangnya manusia Hindu). Padahal, zaman prasejarah di Sulawesi Selatan bau kencur berparak sekitar abad ke-14 Masehi.
Source: https://uun-halimah.blogspot.com/2008/05/lukisan-cap-tangan-pada-dinding-dinding.html