kapankah umat islam harus taat dan tidak taat pada pemimpin

Dian Kasih Nugraha, SHI,M.Sy

Penghulu KUA Kecamatan Bungursari

Kementerian Agama Ii kabupaten Tasikmalaya

Islam memiliki banyak manfaat tersendiri ,  Keefektifan itu minimum lain dilihat dari fenomena yang terjadi pada awam dunia penghuni bumi ini, yaitu realitas akan kebenaran Islam ibarat ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun ]uga. Fenomena ini ada, dapat bintang sartan karena Selam n kepunyaan dua karakter yang mengganjur, merupakan orisinil dalam konsepsi dan kondisional dalam permohonan.Sebagai halangan terbit ijma itu ada beberapa ayat yang memerintahkan supaya taat kepada Al  Qur’an , Hadist  Juga Ijma dan Qiyas  ,Jadi  dalam Al-Qur’an kita diperintahkan cak bagi mentaati Rasulullah dan berpegang tunak dengan hadits Rasulullah selama itu shahih. Maka kita mesti berpegang konstan dengannya walaupun tak terdapat perintah tersebut secara persis. Karena secara umum Almalik Subhanahu wa Ta’ala telah mengomong di dalam  Al-Qur’an: “Barangsiapa yang patuh kepada Nabi, maka sungguh kamu telah konsisten kepada Allah.” Makanya anak adam-orang yang menolak hadits yang shahih dengan mengatakan tidak terwalak di dalam Al-Qur’an, ini adalah kedustaan yang justru mendustakan Al-Qur’an itu sendiri. Pembahasan lanjutan bermula ayat nan kita bahas tadi: “Wahai orang-individu yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Nabi, dan kepada Ulil Amri.”Ketika mengistilahkan “taat kepada Rasul”, diulangi. Menunjukkan patuh kepada Rasul itu eksklusif, teristiadat buat dilakukan selama ada berita pecah hadits yang sahih yang hingga kepada kita.

Adapun Ulil Amri yaitu beriktikad kepada ijma lain diulangi “ketaatan kepadanya”, tapi digandengkan dengan perintah kepatuhan sebelumnya. Situasi ini menunjukkan loyalitas kepada Ulil Amri kepada Ijma sahabat harus termasuk di internal ketaatan kepada Rasul alias hadist nabi . Yakni enggak boleh menyelisihi perintah Tuhan Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Diterangkan oleh Pastor Ibnul Qayyim di sini bahwa akan halnya pemimpin di sini, maka enggak perlu kita mentaati salah seorang di antara mereka, kecuali jikalau terdaftar di dalam ketaatan kepada Rasulullah. Jadi, kepatuhan kepada Ulil Amri di sini harus sesuai dengan ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, harus dalam rangka tunak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. kaidahnya. Sudah kita bahas tadi, teguh kepada Sang pencipta, taat kepada Nabi, seandainya terserah sebuah perintah di privat hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak disebutkan di intern Al-Qur’an secara dzatnya, maka tetap terlazim untuk kita taati. Karena taat kepada Rasulullah yakni termuat disiplin kepada Allah  Mengenai kalau ketaatan kepada Ulil Amri harus benar-benar tercakup di bawah loyalitas kepada Rasululloh  dan bukanlah disiplin yang berdiri sendiri.  Muhammad bin Hasan al-Gifari menganjurkan definisi ijma yakni :  Kesepakatan semua mujtahid dari halangan umat Muhammad pada suatu masa terhadap hukum syara  Sementara itu al-kamal menyatakan: Kesepakatan semua mujtahid pada suatu tahun mulai sejak kalangan umat Muhammad terhadap perkara syara’ , maupun  kesepakatan hukum dari para mujtahid pemuja nabi Muhammad setelah beliau wafat puas suatu wakyu tertentu” .Yang dimaksud dengan istilah Mujtahid internal definisi tersebut adalah cucu adam muslim dewasa yang bernalar afiat nan mempunyai kapabilitas dan kompetensi lakukan menghasilkan hukum berasal perigi-sumbernya. Penggunaan istilah Mujtahid dan semacamnya dalam definisi ijma ‘bagi memfokuskan orang publik atau orang yang tidak n kepunyaan kapabilitas berijtihad, tapi, ada sekali lagi cerdik pandai nan mempersyaratkan keikutsertaan orang awam dalam persepakatan itu agar tercapai ijma’ sehingga tidak di anggap normal suatu ijma’ manakala mendapat tentangan dari orang awam.  Ungkapan “ puas suatu masa” dalam definisi ijma’, menunujkan bahwa wahdah masa umur mujtahid terkait merupakan syarat sahnya suatu ijma’. Hal demikian di sepakati oleh semua cerdik pandai. Tetapi, suka-suka cerdik pandai yang menambahkan kata majemuk “ positif kerukunan yang terus menerus berlanjut setakat berakhirnya tahun jiwa para mujtahid terkait “. Cak semau lagi yang menambahkan ungkapan “.Idiom  “terhadap hukum syara’”

Maka bersendikan definisi di atas, ditarik sejumlah kata depan,yaitu : Kesatuan hati orang mahajana tidak boleh di sebut sebagai Ijma’ karna sepakat atau tidaknya mereka bukanlah faktor determinan.terus Kesepakatan seumpama mujtahid juga enggak boleh di ucap sebagai Ijma’ karna hal demikian tidak mencerminkan kesepakatan bulat dan  Lega dada umat umat terdahulu pula tidak bisa di sebut Ijma’ karna mereka bukanlah umat Nabi Muhammad dan Kerukunan semua mujtahid ( para sahabat ) pada masa Nabi juga tidak bisa di ucap sebagai Ijma’ karna pada periode Nabi, sepakat ataupun tidak para sahabat tidak memiliki implikasi tasyri’iy barang apa kembali. Pun kata majemuk pada suatu masa menjadi anasir utama privat konotasi Ijma’ privat rangka menegaskan penglihatan nan menyatakan Ijma’ itu kesepakatan semua mujtahid umat puas seluruh masa hingga hari yaumul akhir  Bagi kubu pemeroleh ijma ,Ijma’itu memang bisa terjadi,bahkan sudah terjadi,sudah menjadi realitas-historis.  Baluwarti penolak ( kontra ) membentangkan argumentasi bahwa realitas menyebarnya para ulama ke berbagai negri yang berjauhan secara geografis,tak memungkinkan mereka mencerna syariat paruh di perbincangkan, dan ini pada gilirannya enggak memungkinkan lahirnya kerukunan di antara mereka. di bantah maka dari itu kubu pemeroleh ( pro ). Menurut nya , keadaan tersebut merupakan klaim semata yang bukan berdasar. Ke-mutawatir-an yang menjadi ciri khas Ijma’ ialah sebagai halnya yang di miliki Al-Qur’an yang notabene terbukti secara realitas-bersejarah ; makara,tetap longo kemungkinan terjadinya Ijma’. Dan Sekiaranya aman tentang masalah hukum tersebut bertumpu puas dalil qat’iy,pasti komplikasi hukum itu diketahui makanya banyak orang sehingga tak terlazim lagi terserah Ijma’.Tapi realitas menunjukan kelainan hukum itu bukan diketahui banyak orang; dan ini berarti kesepakatan tersebut tidak bertumpu pada dalil qat’iy. Sebagaimana,sekiranya ia bertumpu lega dalil zanniy,pasti sangat sulit-bahkan bukan-bukan-lahir kesepakatan darinya karna adanya perbedaan buku nalar dan analisis diantara para mujtahid itu. Argumen ini di bantah pun maka itu kubu penerima (cak membela). Menurut mereka,komplikasi syariat syara’ialah kelainan yang bertumpu pada dalil sehingga tidak mustahil mereka bersatu pendapat lantaran ada dalil qat’iy atau dalil badaniah

Ijma dengan patokan nan Abstrak hubungan terjadi di zaman sahabat pada pemerintahan Umar dan Abu Bakar spt perataan posisi orang nan ingkar zakat dengan keramaian pembangkang hinggga hukumannya dibunuh lewat penyerbuan militer dan Ijma di akui eksistensinya para ulama sunni , dijadikan rujukan dalam amatan hukum dan enggak diterima oleh ulama Syiah,  mengatakan bahwa jumhur ulama sunni optimis ijma bisa dijalankan kalau rekonsiliasi oleh pemerintah negara negara Islam dengan sistem Delegatif, yakni masing masing negara menunjuk mujtahidnya dengan kriteria kriteria yang telah mereka sepakati , dan tentang Ijma ini laksana sumber hukum ketiga n kepunyaan pangkal yang kuat nan tertuang dalam al- Nisa ayat 115  dan Dalam Al-alquran  Sang pencipta menyamakan aniaya orang yang menetang produk hukum jamhur secara kolektif dengan memfokus Allah dan Rasulnya yakni sama sebanding di ancam dengan jahannam , dengan demikian menetang Yang mahakuasa dan rasulnya merupakan gelap maka memusat komoditas cerdik pandai secara kolektif pula haram berarti mengikutinya adalah wajib dan mereka menafsirkan kata ulil amri puas annisa 59  denga dua konotasi yakni  sebagai penguasa kebijakan dan penguasa hukum , penguasa strategi yaitu pemerintah dan penguasa hukum adalah para mujtahid maupun ulama fiqh.


Dibaca: 14.690 Kali

Source: https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/-ijma-sebagai-sumber-hukum-islam-